Wednesday, January 18, 2017

Kecewa, Gagal, Terkhianati dan BANGKIT.



Rentan usia 15-16 tahun sungguh masa-masa menyenangkan bagi sebagian besar pelajar dan remaja. Kecemburuan terbesar bagiku, ialah melihat pelajar yang fokus belajar dan menikmati masa putih abunya dengan banyak cerita membahagiakan. Disaat yang lain fokus memperhatikan guru yang sedang menjelaskan materi, sedangkan aku pusing sendiri mikirin tunggakan bayaran sekolah yang dari jaman pertama kali menginjak SMK baru di bayarkan tidak lebih dari 1 semester alias 5 bulan dan nunggak sampai aku sudah menginjak kelas 11 SMK di pertengahan semester di kisaran 12 bulan lebih. Merongrong orang tuapun sudah menjadi ketidak mungkinan. Keputusan untuk putus sekolahpun adalah nyaris menjadi pilihan orang tuaku dan melanjutkannya lagi bila nanti mendapati rezeki lebih yang entah kapan. Karena mengandalkan pinjaman uang orang yang agniyapun sudah bukan keputusan yang tepat lagi untuk menyelesaikannya. Terlagi orang tuaku menerapkan untuk anti tangan di bawah. Karena kondisi saat itu sangat menegangkan bagi saya dan keluarga, kondisi ekonomi yang membuat saya jadi fobia seumur hidup. Masa itu kondisinya keluargaku sedang balik bakul, ayahku putus kerja menjadi pengangguran dan ibukupun hanya ibu rumah tangga tanpa keahlian. Di tambah musibah meninggalnya almarhum adiku yang masih berusia 3 tahun dikarenakan sesuatu yang tak dapat aku ceritakan. Meluap sudah penderitaan. Kalaupun ayahku menjadi karyawan, penghasilannyapun tak seberapa apalagi untuk mencukupi keseharian, sangat jauh. Kurasa ayahku sudah berumur, pantasnya dia saat ini duduk manis menikmati hidup.  Nyatanya untuk memenuhi keseharian, gali lubang dan tutup lubang adalah satu-satunya cara orang tuaku untuk menyelesaikannya. Kelaparan, Makan nasi dengan kecap manis atau cocol garam sepertinya menjadi santapan favorit keluargaku saat itu. Apalagi adiku Erda, dia sangat suka makan nasi dengan kerupuk di warung seharga 500 dapet 2, katanya enak. *Gatau lebay apa emang lebay, langsung netesin air mata kalo di inget-inget :')

Mimpiku tidak besar. Berontak dari kenyataan dan bercita-cita mencukupi finansial keluargaku. Tidak lebih, hanya cukup. Bahkan pas-pasanpun sudah menjadi kesyukuran bagiku pada masa itu. Bukan kekurangan, bukan rontaan yang menjadi kegaduhan di dalam rumah.

Masih terekam jelas sampai detik ini. Pada usiaku yang sedini itu aku sudah harus merasakan kerasnya kehidupan *kalau kata Ibuku sih gitu. Kusebut keras bukannya seperti batu, namun memang sangat keras juga benturan setiap benturan cemo'ohan orang lain dan di asingkan karena banyak yang menganggap bahwa aku hanya anak kampung yang gak bisa apa-apa dan memaksakan diri untuk bersekolah di Kota Bogor. Asumsi itu aku dapat dari ejekan beberapa teman kelasanku. Dari yang di olok-olok "Anak Parung Ya? Kampung! dih sono lu sekola di Ciseeng aja, ngapain lu kesini, disono gak ada sekolahan ya?" lalu sempat juga teman kelasanku mengatakan "Eh Dwi, lu gembel banget sih, beli makanan napah jangan minta mulu" dan masing banyak lagi cemoohan yang aku juga sebenernya maels buat ingat-ingat lagi hahaha. Kesal, benci dan sumpah serapah meluap pada benak yang tak bisa berbuat. Aku yang memang sebagai anak yang aktif, dominan dan memiliki pemikiran yang bertolak belakang di kelas menjadi hal wajar bila mereka mengejek seperti itu. Mulai masa itu juga aku mulai mengenal kata "Terus Bermimpi Atau Dapat Membuat Mimpi itu Menjadi Nyata?!" Baik, kurasa drama kehidupan yang aku pelajari di masa itu sudah cukup dan aku harus bangun, bangkit dan lupakan keburukan yang ada di hidupku. AKU HARUS PERCAYA DIRI !

Aku yang memang sudah mencintai pendidikan, sangat aktif di berbagai kegiatan organisasi didalam atau diluar sekolah. Pribadi yang sangat tidak pernah menunjukan betapa aku sedang menjalani banyak misi kehidupan. Bagiku, berorganisasi ialah satu-satunya hiburan yang baik dan terjangkau. MMC Production atau Multimedia Club adalah salah satu organisasi yang aku ikuti. Disitu aku tidak mendapatkan banyak ilmu. Tapi disitu aku mendapatkan banyak peluang dan kesempatan. Mengapa begitu? Karena dari ruang MMC itu aku bisa memanfaatkan fasilitas komputer yang tersedia di ruangannya. Karena jangankan untuk membeli laptop, bayaran sekolah aja nunggak haha.

Aku masuk sekolah di jam 12.30 sedangkan aku datang ke sekolah di jam 08.00, sambil menunggu jam masuk sekolah aku memanfaatkan fasilitas sekolah dengan mengaplikasikan materi buku Pengloah Gambar Digital yang aku temui di salah satu perpus sekolahku, disitu berisi materi-materi mengoperasikan Adobe Software, Corel Draw dan teknik dasar Fotografi. Materinya sangat ringan dan mendasar. Tujuankupun simple, hanya ingin selangkah lebih maju dan gak mau kalah dari teman-temanku di kelas yang terlihat berkecukupan. Karena aku muak menjadi anak yang terasingkan di dalam kelas. Dan tadaaa.. Cara itupun berhasil, singkat cerita bahwa aku mampu mendapatkan nilai produktif/jurusan lebih unggul ketimbang teman-temanku lainnya di kelas, dan hal itu menjadi kepercayaan pada diri sendiri bahwa aku mampu! Mulai saat itu aku mulai mempateni bidang Multimedia khususnya Desain Grafis & Fotografi melalui proses yang begitu rumit. Sampai dimana aku mampu menembus nilai produktif tertinggi satu jurusan dan mewakili sekolah untuk beberapa ajang perlombaan di bidang Desain Grafis dan Fotografi, dari yang tingkat sekolah se-JABODETABEK, tingkat Dinas Pendidikan Kota Bogor seperti LKS bidang Desain Grafis (LKS ialah semacam olimpiade), menampilkan karya di ajang Pameran Kreativitas Epitech Jawa Barat dans sebagainya.

Tentu hal itu bukan menjadi puncak kebahagiaan bagiku. Nyatanya ekonomiku belum tertolongkan, tunggakan masih banyak dan fikiranku masih terfokus akan hal itu. Sampai aku menginjak semester 2 di kelas 2 SMK mendekati kenaikan kelas aku di nantikan oleh persiapan kenaikan kelas dan ujian-ujiannya. Dari yang harus membeli buku LKS, fotokopi modul inilah-itulah dan tentu bisa aku dapatkan dengan aku membelinya, artinya aku butuh uang. Janganan untuk bayar-bayar begituan, buat jajan sekolah aja kadang megang 2000 rupiah. Cukup apa? Mulai saat itu aku membanting fikiran, bahwa aku harus mencari uang sendiri. Karena sepertinya aku sudah memiliki kemampuan dan fasilitas sekolah seperti komputer dan kamera SLR masih bersahabat denganku, maka aku putuskan memulai memasarkan jasa kemampuanku dari yang minjem BBM temen *walau sedikit maksa* buat sekedar broadcast "Menerima jasa Fotografi untuk hunting dengan pacar dan gebetan. Desain Poster untuk Anniversary, Ultah, Wedding, dsb. Bisa juga cetak Garskin HP dengan desain yang unik. Dijamin murmer" pada masa itu handphone Blackberry Gemini sangat happening dan untungnya salah satu temanku yang masih berbaik hati mau membantuku untuk sekedar menyebarkan pesan singkat itu. Maraknya jaman Alay *sebut aja gitu* malah membuka peluang bagi aku. Hal itupun langsung mendapatkan respon yang baik bagi yang menerimanya. Tentu aku mendapati beberapa client yang kurasa mencukupi uang jajanku di sekolah untuk tidak memalukan diriku sendiri yang di cap tukang minta-minta, padahal aku gak pernah meminta tapi memang temen-temenku yang masih kesisa baik hatinya suka menawarkan makanan, aku yang memang selalu kelaperan apapun di makan kecuali kotoran.


Menginap di rumah teman yang berbeda-beda setiap harinya dan tidur di gudang milik saudaraku ialah pilihanku untuk tetap berpendidikan. Karena jarak tempuh dari Ciseeng rumahku ke sekolah sangatlah jauh. Bagai dari ujung ke ujung. Perlu di tembuh dengan 3 kali naik angkot dan 1 kali naik pusaka Parung-Bogor dengan rentan waktu 1,5 sampai 2 jam. Ongkosnyapun tak sebanding dengan uang saku yang aku pegang. Akupun kadang merasa sadar memang aku ialah anak yang nekat dan tak tahu diri. Mengapa juga harus sekolah jauh-jauh ke kota sedangkan kondisi ekonomi dan rumah sangat mempihatinkan. Nyaris, putus asa dan mengikuti pembicaraan orang tuaku untuk berhenti sekolah menjadi keputusanku juga. Namun, mengingat aku yang sudah banyak terlibat dalam prestasi sekolah sangat malu bila mengundurkan diri dengan alasan seperti itu. Walau sampai diamana pihak kepala sekolah mengetahui ekonomi aku, di bawalah aku kedalam ruangannya dan di ajak berbicara empat mata, lalu aku diberikan keringananlah dengan diberikan kupon prestasi yang dapat meringankan bayaranku selama 3 bulan dan diberi kesempatan untuk tidak perlu berlarut memikirkannya dan dapat melunasinya sampai menginjak kelulusan sekolah. Baik, kurasa akan lebih tenang.

Bertahan sekolah dan menjaga gengsi menjadi satu kesatuan pada pelajar masa kini. Sedangkan aku, menjual gengsi untuk bertahan sekolah. Dari kelas ke kelas lain memberikan contoh karya yang dapat aku jual, seperti garskin handphone dengan desain yang unik & poster. Tentu aku meraup keuntungan yang lebih, dan sampai dimana aku bisa mencapai penghasilan kurang lebih 500 ribu dalam satu minggu, bagi pelajar masa itu sudah sungguh besar. Aku tidak pernah melupakan cemo'ohan teman-teman kelasanku. Keuntungan itu aku sisihkan untuk mengembangkan usahaku menjadi modal, bayaran sekolah, uang saku untuk pulang ke rumah dan nraktir-nraktir teman kelasanku. Terus terang, Melihat gigitan demi gigitan makanan yang aku belikan untuk teman-temanku sekelas tanpa terkecuali temanku yang sering mengejeku itu, adalah hal yang sangat membahagiakan dan hal itu ialah moment pertama kali untuk aku dapat berbagi. Sungguh itu menjadi motivasi aku juga untuk terus giat mencari uang agar terus bisa mencukupi finansialku dan membahagiakan orang lain yang lebih membutuhkan dariku.

Dalam usaha mungkin mengalami kembang-kempis, namun tak menyurutkan semangatku untuk terus mengembangkan diri. Menemukan kemampuan baru, mimpi baru, harapan baru untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau terus bekerja yang mana hal itu adalah tuntutan hidupku untuk mencapai mimpi awalku. Baik, kuputuskan untuk bekerja. Untuk bekerjapun tak mudah, aku harus berkeliling kota bogor hingga kabupaten untuk menanyakan lowongan pekerjaan dari pabrik ke pabrik dan melewati beberapa kali tahap penolakan. Sampai aku sempat menjadi Sales door to door selama satu bulan Ramadhan, dimana aku kerja rodi di salah satu perusahaan penipu itu. Sakit bila di ingat namun doaku yang baik menyertainya. Sampai dimana aku mendapatkan tawaran pekerjaan menjadi admin di daerah Jakarta Barat, bertemu dengan atasan yang baik hati dan bangga memiliki karyawan seperti aku *katanya sih gitu*. Seling satu bulan aku mendapatkan pekerjaan akupun langsun memaksakan diri untuk melanjutkan kuliah dengan jurusan yang sangat aku idamkan "Desain Komunikasi Visual". Kuliah sambil Bekerja. Hal ini sama persis dengan masa dimana aku memulai sekolah SMK dulu namun kejadian akhirnya berbeda. Dimana kondisinya sangat menekankan bahwa aku harus cuti sampai saat ini. Akupun sempat fokus belajar beberapa bulan untuk menyiapkan diri mengikuti SBMPTN dan beberapa UMPTN dimana aku berusaha mendaftarkan diri sebagai peserta Beasiswa Bidiki Misi dan berharap besar jika aku dapat masuk PTN disana terbuka besar peluang untuk beasiswa. Aku mampu memang memasuki salah satu PTN yang sudah aku coba keras, namun nyatanya untuk harapan mendapat jurusan yang sesuai, beasiswa dan UKT (Uang Kuliah Tunggal) tidak aku dapatkan sebanding dengan harapan dan kemampuanku. Akhirnya aku putuskan meninggalkan hal itu. "Aku terlalu meramba masa depan hingga aku lupa caranya bersyukur dengan yang ada. Harusnya aku tetap fokus bekerja, bekerja dan bekerja."Itulah pemikiranku saat itu.

Sampai aku berusaha untuk berlapang dada, melepas satu persatu mimpi-mimpi itu dan menyerahkan segalanya ke yang maha kuasa, berusaha menyerahkan segala jalannya dengannya, fokus dan mensyukuri dengan apa yang sedang di jalani yaitu pekerjaanku dan lambat laun melupakan pengalaman yang baik itu. Datanglah sebuah kabar baik dari salah satu seniorku di MMC, dia yang memang melihat kemampuanku sedari masih sekolah sudah merasa yakin bahwa aku mampu berkembang bersama. Dimana aku diminta untuk bergabung di sebuah perusahaan untuk menjadi seorang Desain Grafis dan Media Tim. Sungguh hal itu yang menjadi cita-citaku. Perusahaan kecil di bidang MICE dan Event Organizer adalah menjadi bonus untuku, mengingat aku yang tak pernah jalan-jalan jauh selain ke Puncak Bogor dan lokasi kantornya yang tidak jauh dari rumah baruku maka langsung aku iyakan tawaran itu. Sunguh jalan Allah memang baik, ia akan memberikan jalan bagi hambanya yang berserah diri dan berusaha.

Keluar dari daerah tempat tinggku sebelumnya bukan karena cemo'ohan dari teman-temanku dulu. Tapi itu adalah keputusanku yang memang mengarahkan keluargaku untuk keluar dari daerah itu. Yang aku rasa bila keluargaku tetap menetap disana, maka akan tidak dapat berkembang, akan begitu-begitu saja. Melihat peluang perkembangan ekonomi yang sempit, kenyataan teman-teman dekatku banyak yang menikah di usia dini dan bahkan tidak sedikit menikah dengan alasan yang tidak wajar, dan lain-lain sebagainya yang mungkin aku desktipsikan lebih panjabg lagi. Keganjalan tersebut tentu menjadi alasan dan tamparan bagiku, juga menjadi alasanku untuk berontak dari kenyataan dan tak ingin lingkungan keluargaku berada di lingkaran kusam itu. Akhirnya keluargaku memutuskan untuk menjual tanah dan rumah yang di tempati dan membeli rumah kecil di daerah pusat kota bogor yang aku dan ayahku cari sendiri. Hal itupun aku dapatkan seperti ajaib. Namun, aku percaya itu rencanaNya. Akhirnya kami dapat melunasi semua hutang-hutang yang selama ini menjadi beban dan mendapatkan rumah dengan harga yang pas dengan uang hasil jual tanah dan rumah yang sangat strategis. Walau dana sedikit kurang, untungnya aku mempunyai tabungan dari hasil penghasilanku selepas cuti kuliah. Walau kondisi rumah yang sangat sederhana namun disitu kami mendapatkan ketenangan hidup dan membahagiakan di setiap harinya.

Alhamdulillahirabbil'alamin.. Ada pengumuman bahwa adiku lolos di salah satu sekolah negri di Kota Bogor dengan jalur prestasi. Puji syukur.. Semuanya berkat tekat, motivasi hidup dan do'a. Aku memang sudah percaya dengan adiku bahwa dia memiliki potensi yang lebih dominan ketimbang aku. Ayahkupun sudah mulai bekerja kembali di perusahaan yang keluarga ibuku kelola tidak jauh dari rumah baruku. Maha besar Allah. Lagi-lagi aku seperti mendapatkan rizki yang bertubi-tubi. Hal ini menjadikan keluargaku seperti baru kembali, memulai dari nol kembali. Adiku yang menganggap aku sebagai pusat motivasi dirinya harus mengarahkan ke arah yang lebih baik dariku. Penghasilanku bekerja saat ini terbilang cukup. Cukup untuk keseharianku dan yang aku butuhkan, cukup untuk membiayai pendidikan adiku--agar tidak seperti aku dan dapat aku sisihkan di setiap bulannya untuk memperlayak kehidupan kedepan. Sampai sejauh ini kami pindah, alhamdulillah selalu berkecukupan. Tidak ada kelaparan, tidak ada makan nasi dengan garam atau kecap. Tak ada lagi kegaduhan di dalam rumah. Yang ada isi rumah kami penuh dengan rasa kesyukuran, bahkan sampai saat ini, disetiap aku sujud dalam ibadah atau merebahkan badanku di kasur kamar aku selalu merasa tenang dan penuh dengan pujian kepadaNya yang maha kuasa.

Sebagai manusia aku tidak pernah merasa puas. Aku mulai merambah usaha kecil-kecilan pribadiku berkat pengalaman dan juga (tekat) yang di kuat-kuatkan. Aku tidak berhenti berpendidikan seusai melepas kuliahku di kedua kampus yang aku rasa tak mampu aku jalanin itu. Aku langsung bergegas mencari pendidikan yang pantas dan sesuai dengaku. Akhirnya aku mendapati kampus PTN yang di kelola oleh Kemendikbud, dimana sistem kuliahnya sangat mengagetkan aku pribadi. Bagaimana mungkin aku bisa kuliah dengan tidak menemui dosennya alias online. Sistem belajar seperti ini sungguh sangat sesuai dengan kebutuhanku yang sangat sibuk bekerja. Hal inipun aku anggap adalah rizki yang baik dari yang maha baik. Sampai sejauh ini pendidikan dan pekerjaankupun alhamdulillah lancar dan selalu penuh dengan rasa kesyukuran.

Mungkin cerita ini tak seberapa dibandingkan kisah-kisah diluaran yang sangat lebih memprihatinkan. Namun, tulisan ini kurasa mampu menjadi salinan rekaman dari sebuah ingatan. Semoga berguna dan bermanfaat. Aamiin

Tulisan ini di undang oleh
#VoluntripChallange #day2 #sepekanbercerita
Yang bertujuan agar menjadi solusi bagi teman-teman lainnya, yang pernah terjebak pada dilema yang sama, agar terus semangat.
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment