Friday, August 21, 2015

Kata Mama

Catatan yang aku tulis "Kata Mama" *bentuk tulisannya hiraukan.
Tadi malam. Mama yang lebih dulu tiba dirumah, usai pulang dari Jawa Timur karena ada keperluan yang tidak perlu aku sebutkan, sedang merebahkan kakinya di ruang tengah. Menyambut aku yang baru saja tiba dirumah usai kerja, sambil mengepal sebuah buku yang mungkin (seperti biasanya).
"Assalamualaikum" aku yang sambil dobrak pintu dan nyelonong masuk langsung melempar tas ke tepi tembok.
"Waalaikumsalam.. kamu de, mau baca buku model apa di cahaya yang terbatas" ucap mama yang langsung seperti meledek.
"model modelan" jawabku dengan nada separuh menimpali ledekannya, dengan sedikit tidak perduli. 
Aku yang memang lelah seusai kerja, langsung bergegas mengangkat diri ke kamar dan kamar mandi untuk merapihkan sedikit barang bawaanku dan berganti kostum sekaligus membersihkan badan. Karena tidak ingin berlama-lama nyaman dengan badan yang aromanya sedikit nyaru dengan asem perpaduan kecut sedikit lengket. Usai itupun aku langsung menghampiri mamaku, yang baru saja pulang dari jawa untuk menanyakan oleh-oleh, ups.. Keadaan dan kesehatannya juga. Hehe.
"oleh-oleh apaan aja bos? Bawa berapa ton jeneng? (jeneng makanan khas jawa)"
"itu mama beli foto walisongo" mama yang sambil nunjuk tembok memamerkan foto walisongo yang dibelinya sebagai oleh-oleh.
"jeneng'e ra beli tho?"
"itu tuh" sambil nunjuk kue jeneng yg nyaru degan dodol orang hajatan.
"banyak binggow mah"
"iyah. Mama beli 3 harganya 10.000. Belinya di bis"
Aku yang tidak berbasa basi penasaran ingin rasakan sensasi jeneng made in bis 3/10.000, langsung melahap jeneng yang mama beli.
"mmmm... Kalah ketek si Erda (Erda adiku). Asem ngetz pake Z" aku yang sambil mengercitkan dahi, memeletkan lidah seraya menolak akan rasa yang kuterima. Kini, memanglah fakta kalau harga tidak pernah berbohong.
"se'asem hidup lu dan kenang-kenangan lu yaa" timpal Erda adiku yang berusaha meledeku.
Aku, Erda, Mamah dan Ayah. tertawa lepas bersamaan.

**

Aku langsung bergegas ke kamar untuk mengambil buku yang tadi ku kepal seusai pulang kerja dan kembali.keruang tengah tempat mamah, ayah dan erda berkumpul nonton tv. Sekaligus mencari masukan cahaya yang kalau memang di kamar cahayanya sangat terbatas bak krisis cahaya.
Ada yang menyauti gerak-geriku yang masih terpaku dengan menetralisir kakinya, yaitu mamahku.
"Aduh ende (ende nama panggilanku sejak kecil, yang dibiasakan keluarga atau teman sepermainanku dulu sewaktu masih hoby main boneka dan masak-masakan), kalau mau baca buku satu, yang lainnya dirapihkan dulu jangan berantakan gitu" sahut mamah dengan nada jengkel memperingati.
"iya, kapan-kapan" sahut aku yang seraya tak perduli.
"de.. Kemarin untung mamah ada di rumah bu dedeh (bu dedeh adalah ustazah teman pengajian mamahku yang memang seorang ustazah juga), ada mas-mas kurir dari JNE nganterin paket bukumu itu, kebingungan nyari alamat. Mondar mandir kaya mau nanya tapi ragu. Karena mamah inget kamu ada pesen buku yang mau di kirim. Mamah teriaki aja orang itu, mama tanyain ke orangnya mau nyari alamat siapa, ternyata kamu. Kurir itu ngeluh katanya udah hampir satu jam dia nyari alamat rumah kita tidak ketemu" cerita mamahku yg seraya mengadu. Karena memang daerah tempatku tinggal belum di sosialisasikan untuk diberikan nomor disetiap rumahnya, hingga yang bila mencari rumah merasa lebih sulit, hanya berpatokan dengan nama tujuan. Terlagi rumahku yang berada di dalam gang kecil dan menyendiri, sulit di jangkau kendaraan apapun, terlagi kami sekeluarga barulah pindah tidak lebih dari setengah tahun, terbilang masih orang baru di daerah itu dan belum seluruhnya mengenal keluargaku, terlagi namaku, yang hanya sosialisasinya sebatas ruang tengah, kamar mandi, kamar dan dapur-_- 
"terus.." jawabku yang meminta mamah menceritakan lagi bila ada kelanjutannya hehe.
"terus mamah terima lah, mamah gak kasih uang"
"dia udah di gaji mah dr JNE'nya, gajinya tetap" timpal aku yang memberitahu mama.
"mama langsung pulang. Penasaran isinya apaan" mamaku yang memang sudah tau pasti isinya buku, dia langsung bergegas kerumah dan membuka buku dari kemasannya. Mamahkupun sudah mendahului pembelinya untuk membaca. Huh.. Aku kalah start.
Tibanya mamahku dirumah.. memperhatikan isi dari bingkisan itu, yang berisi buku, bonus dan di dalam bukunya terdapat tanda tangan penulisnya.
"mamah udah tau isinya kayak gimana?" aku bertanya kepada mamah yang memang sudah menghatamkannya tidak sampai sehari.
"udah.. itu tujuan intinya hanya kita untuk terus bersyukur, karena kesempatan dari orang tua itu lebih berarti dari apapun. Tapii nde.. mamah lihat di dalamnya ada cendra mata dan tanda tangan penulisnya di dalam. Bagus, tapi...." ucap mamaku yang aku potong dengan sahutan. 
Aku yang seperti sudah menebak-nebak apa yang mamaku inginkan, langsung memotong menyambil pembicaraan mamah.
"Tapi apaa? udah ah mah, ende lagi gamau bahas itu dulu, udah terlalu jauh buat ende mengembara ke masa depan. Lagi juga gak segampang yang di bicarakan" jawabku yang seraya menggubris.
Mamahku yang memang gemar membaca buku (lebih lebih dari aku). Selalu ingin mengetahui buku yang aku baca. Sebenarnya karena mamah memang sudah tidak bisa beli buku sebanyak dulu karena tuntutan ekonomi, maklum ibu rumah tangga banyak keperluannya. Ehehe. Mamah bisa dijuluki sebagai Perpustakawan di dalam rumahku sendiri. Dia mempunyai berbagai macam buku islam yang sedikit rujit, karena memang buku lama dan biasa beli di toko pinggir jalan biasa. Kata mamah, yang penting isi dan ilmunya. Makannya setiap aku nanya apapun mengenai islam, mamaku bisa mendeskripsikan berikut hadistnya. Sayang, aku tak seperti mamahku yang mempunya storage memori dalam fikirannya terpatrih kuat:(
Selama ini, aku membaca buku hanya sekedar memenuhi nafsuku untuk menghibur diri atau katakanlah menyibukan diri. Yang kalau membaca, ilmunya di ingat kalau memang konteksnya sangat menarik perhatianku sangat. Skip dulu hal itu.

**

Aku lanjutkan untuk membuka lembaran demi lembaran itu. Mamahku masih dihadapanku merebahkan badannya sambil menyelonjorkan kakinya, sesaat menyahutiku.
"de.. Kamu kan suka melampiaskan unek-unek motivasi kamu ke si erda, coba kamu buat buku satu untuk ditinggalkan kalo nanti kamu sudah bersama tanah" ucap mamahku yang tiba tiba memecahkan bayanganku yang khusyuk membaca buku. Entah apa yang menggugah mamahku untuk membicarakan hal itu, akupun masih tidak paham. Tapi aku dapat memastikan, bukan berarti mamahku ingin aku untuk pergi, tapi akupun tahu kepergian seseorang diluar kehendak manusia selain Allah.
Sambungnya lagi."mamah tau kamu bisa ini itu bukan dari yang mamah ajarkan. Tapi lingkungan dan dunia yang kamu cari sendiri yang membawa kamu bisa ini itu (Ini Itu, maksudnya adalah kemampuanku yang mamahku perhatikan, dan mungkin sebagian dari Tujuanku selama hidup di dunia)" ucap mamah dengan nada sedikit sayu menatapku.
"ende, pengen mah, pengen banget. Ende yakin sama tujuan ende tapi ende terus-terusan gagal. Sekarang ende mau masuk PTN yang ende harapkan buat memperlurus kemampuan ende aja gagal, ende sebenernya malu. Malu kalo sampe temen kampus lama ende atau temen-temen ende yang lain nanya apa kabar di kampus barunya, terus ngambil jurusan apa? Masa ende jawabnya "ambil hikmahnya aja" *korba meme. Ende juga malu sama mamah dan ayah, yang sebelumnya ende terlalu merasa yakin dan meyakinkan buat kalian harus tetap baik-baik aja, sama setiap keputusan ende. Kan malu mah.." jawabku yang sedikit melamahkan diri.
"gue dong.. Mau masuk negri gampang. Dateng, test, pengumuman, lolos terus belajar" timpal adiku yang meledek menjengkelkan, dengan aku yang berusaha meraihnya untuk sekedar cubit atau mengejeknya juga, yang entah mau ngejek apa karena memang nasib adiku tak lebih buruk dariku. 
Aku masih terdiam sesambil memandangi buku yang aku baca, tapi tak memahaminya karna fikiranku bukan lagi terfokus pada bacaan-bacaan itu.
"kamu bisa jadi penulis de.. Kayak yang pernah kamu bilang ke mamah, apa lagi yang ditinggalkan setelah mati selain kenangan, karya dan tulisan yang berarti dan bermakna" aku masih terdiam, dan mamah masih menyambungkan pembicaraannya. 
"dari awal kamu mau nyoba-nyoba PTN juga, mamah lebih ngedukung kamu jadi penulis, kalau mau kuliah ambil yang menjurus kesitu, taro lah kamu suka desain, tapi kan mama liat kalo lagi mood aja, dan yang sebelumnya kamu gak bisa nerusin di kampusmu itu karena mahal dan gak kuat sama pengeluarannya juga (walau sebenarnya bukan hanya itu alasanku memilih untuk tidak tetap meraih pendidikan di kampus lamaku itu), coba kamu nulis, gausah jadi yang terkenal dulu. Cukup satu buku untuk ditinggalkan setelah pergi untuk bertemu tanah. Baaah... Mamah seneng banget nde... " 
"doain aja mah.. Semoga ende lancar dulu buat pendidikan ende kedepan. Dengan itu insyaallah bisa memperlurus apa yang ende mampu dan mamah inginkan. Ende gak perlu minta mamah ngeluarin apa-apa lagi, karena kalaupun ende ngerengek pasti ayah bilangnya gak ada atau belum bisa dan sabar. Hehe pisss yah" ucapku yang masih memandangi buku yang tidak aku perhatikan. sesambil mataku menunjuk pada ayah yang sedang duduk sambil mengangkat dua jariku yg mengartikan damai (pis), dengan ayah yang matanya membalas menyorot mataku. Lanjut ucapku dengan lemah sedikit meyakinkan
"Ende baru sadar, ende cuma kurang sabar sama setiap keputusan ende, alhasil tidak sesuai harapan. Tapi ende pastikan ende gak sama sekali nyesel mah.. yah.. Ende justru punya keterbanggaan sendiri karena udah mencoba dan gak penasaran. Sekarang ende bakal sabar buat nyeting ulang rencana buat tujuan ende itu. Tugas mama sama ayah, cukup Doain anakmu ini yang terbaik. Inaf :), soal bakal jadi apanya ende kedepan, itu semua urusan Allah, ende cuma berjalan aja, dan memastikan di setiap langkahnya udah ende usahakan yang terbaik" ucapku membalas perkataan mamah yang membuat sedikit dada merasa entah apalah, pasti kau paham. Intinya aku berusaha meyakinkan. Tapi terekam jelas apa yang mamahku harapkan dariku, menghasilkan satu buku yang bermanfaat, dan hal itu sudah bukan hal baru atau sekali mamahku ucap untuki dengar, tapi sudah yang kesekian kali, tapi entah, malam itu berubah seperti keyakinan.
Adiku yang mendengarnya dengan khusyuk tiba-tiba memberi tepuk tangan, yang entah aku tak paham maksudnya. Yang pasti saat itu, anak itu sedikit nyaru dengan idiot meledeku tanpa memperhatikan situasi. Ah tapi berhasil mencairkan suasana menjadi tertawa bersama. Bak merayakan kemenangan. Aku senang sedikit lega.

Aku ingin memenuhi keinginan orang-orang tersayang, tetapi akupun punya tujuanku sendiri yang lebih tjakep bila dipadukan. Hal ini masih menjadi rahasia Aku dan Allah :)
IsyaAllah.. Bismillah.. Atas nama Allah dan Orang Tua yang maha pengasih lagi maha penyayang :)


Dwi Pridika
22 Agust 2015 

Tenanglah




Aku iri kepada sinar yang memancarkan keindahannya.
Aku iri kepada dedaunan yang menebarkan kesegaran dengan aromanya.
Aku iri kepada langit yang dapat memberi warna.
Aku iri kepada apapun itu yang dapat memamerkan yang dimilikinya untuk menggoda.

Khawatir hanya menunggu melebur bersama debu dan tanah.
Khawatir tak ada yang menengok ranting pohon yang kering.
Khawatir tak ada hujan yang jatuh.
Khawatir terpatahkan angin gering.

Tenanglah. Hidup tak lepas dari jutaan prasangka.
Tenanglah. Hidup selalu memberi kesempatan untuk membuat nyata.
Tenanglah. Hidup hanya perihal mengenai masa.
Tenanglah. Hidup ditujukan untuk datang dan pergi lalu mengenangnya.


Dwi Pridika
11 Agust 2015

Jarak

 


Pagi ini ada yang menyapaku dari ufuk timur sana.
Menebarkan cahaya seraya menggoda.
Entah harus dengan bentuk apa untuku sekedar balas sapa.
Saat ingat, di lawan arah aku berada.

Katakanlah jarak..
Tidak sesekali membuat paradigma ini semakin sulit tuk ditebak.
Entah sebuah prespektif yang salah letak.
Atau.. Suatu naluri tak berkompromi tuk bergejolak.

Terlagi, terperanjat pada sesuatu yang nyata.
Ku kira hanya mimpi pada lelap untuku seculik merasakan nikmatnya rasa.
Kukira hanya sekedar angan untuku bisa menyapa nyata.
Yang di ufuk timur sana menjawab dengan beberapa fakta bahwa keindahannya itu memanglah nyata.

Caranya terbit lalu tenggelam.
Mengumpat pada gelapnya malam.
Menebarkan cahaya tanpa menuntut balasan alam.
Enyahlah segala tabir yang kelam.  
Kepada angin..
Bawalah bentangan senyum ini kepada barat yang kuingin.
Sampaikan jauh dari naluri bahwa keindahannya melupakan kemarin.

Dwi Pridika
16 Agust 2015 

Terserah

Ketika pautan datang tanpa alasan, tanpa permisi. Kita tertohok terbata, benarkah yang dipandang adalah nyata? ataukan hanya mimpi di siang bolong, yang jika ditepuk langsung terbangun lalu kembali pada semula. Tidak.. ini nyata, ini memang bukan mimpi. Apalah hal ini, aku bagai terjerumus pada ruangan hampa kedap udara yang berukuran tidak lebih dari 1/2 meter kali 1/2 meter. 
Ah.. masih mengeluh dalam tajamnya lamunan. Sulitnya bergerak bagai terikat lekatnya tali. Apalagi melarikan diri. melarikan hatipun terjungkal oleh batu. Ingatan tak mampu menolak tuk lupa. 
Aku tertohok melihat kejadian yang sama sekali belum aku lamunkan. Mengira cahaya yang menampilakan keindahan itu, ku kira akan mampu menjadi penerang yang berguna untuk bunga di taman. Aku kira cahaya itu akan memberi kehangatan. Jauh dari sangka, cahaya itu memilih sebagai lampu yang hanya ketika dibutuhkan, dinyalahkan semaunya dan dengan sentuhan siapa saja. 
Tak ada kesempurnaan yang dituntut untuk menderang. Berhak bila cahaya memang untuk terang. Namun cahaya itu hanya membabi butakan pandangan sebuah hati yang sudah di tetapkan. Persetan akan lidah atau ludah yang dibuatnya untuk berbicara satu kata yang luasnya tak ada ujung. Cahayanya itu tak pernah diminta oleh bunga. Kesulitan memberi cahayanya dengan apa adanya, alami, asri, membangun, hidup dan memberi aroma yang menghangatkan. 
Pastilah, adanya cahayamu itu tak lepas dari tuntutan, tuntutan untuk menyalakanmu, menghidupimu dahulu baruku merasakan terangnya cahayamu, dan dengan daya yang terbatas, lalu kau mati dan lenyap.
Silahkan, mau dengan model apa kau bercahaya. Yang pasti jika kau berteguh hanya sekedar menajdi sebuah lampu. Kau takan dibutuhkan bunga. Terserah..