Rentan
usia 15-16 tahun sungguh masa-masa menyenangkan bagi sebagian besar
pelajar dan remaja. Kecemburuan terbesar bagiku, ialah melihat pelajar
yang fokus belajar dan menikmati masa putih abunya dengan banyak cerita
membahagiakan. Disaat yang lain fokus memperhatikan guru yang sedang
menjelaskan materi, sedangkan aku pusing sendiri mikirin tunggakan
bayaran sekolah yang dari jaman pertama kali menginjak SMK baru di
bayarkan tidak lebih dari 1 semester alias 5 bulan dan nunggak sampai
aku sudah menginjak kelas 11 SMK di pertengahan semester di kisaran 12
bulan lebih. Merongrong orang tuapun sudah menjadi ketidak
mungkinan. Keputusan untuk putus sekolahpun adalah nyaris menjadi
pilihan orang tuaku dan melanjutkannya lagi bila nanti mendapati rezeki
lebih yang entah kapan. Karena mengandalkan pinjaman uang orang yang
agniyapun sudah bukan keputusan yang tepat lagi untuk menyelesaikannya.
Terlagi orang tuaku menerapkan untuk anti tangan di bawah. Karena
kondisi saat itu sangat menegangkan bagi saya dan keluarga, kondisi
ekonomi yang membuat saya jadi fobia seumur hidup. Masa itu kondisinya
keluargaku sedang balik bakul, ayahku putus kerja menjadi pengangguran
dan ibukupun hanya ibu rumah tangga tanpa keahlian. Di tambah musibah
meninggalnya almarhum adiku yang masih berusia 3 tahun dikarenakan
sesuatu yang tak dapat aku ceritakan. Meluap sudah penderitaan. Kalaupun
ayahku menjadi karyawan, penghasilannyapun tak seberapa apalagi untuk
mencukupi keseharian, sangat jauh. Kurasa ayahku sudah berumur,
pantasnya dia saat ini duduk manis menikmati hidup. Nyatanya untuk
memenuhi keseharian, gali lubang dan tutup lubang adalah satu-satunya
cara orang tuaku untuk menyelesaikannya. Kelaparan, Makan nasi dengan
kecap manis atau cocol garam sepertinya menjadi santapan favorit
keluargaku saat itu. Apalagi adiku Erda, dia sangat suka makan nasi
dengan kerupuk di warung seharga 500 dapet 2, katanya enak. *Gatau lebay
apa emang lebay, langsung netesin air mata kalo di inget-inget :')
Mimpiku
tidak besar. Berontak dari kenyataan dan bercita-cita mencukupi
finansial keluargaku. Tidak lebih, hanya cukup. Bahkan pas-pasanpun
sudah menjadi kesyukuran bagiku pada masa itu. Bukan kekurangan, bukan
rontaan yang menjadi kegaduhan di dalam rumah.
Masih
terekam jelas sampai detik ini. Pada usiaku yang sedini itu aku sudah
harus merasakan kerasnya kehidupan *kalau kata Ibuku sih gitu. Kusebut
keras bukannya seperti batu, namun memang sangat keras juga benturan
setiap benturan cemo'ohan orang lain dan di asingkan karena banyak yang
menganggap bahwa aku hanya anak kampung yang gak bisa apa-apa dan
memaksakan diri untuk bersekolah di Kota Bogor. Asumsi itu aku dapat
dari ejekan beberapa teman kelasanku. Dari yang di olok-olok "Anak
Parung Ya? Kampung! dih sono lu sekola di Ciseeng aja, ngapain lu
kesini, disono gak ada sekolahan ya?" lalu sempat juga teman kelasanku
mengatakan "Eh Dwi, lu gembel banget sih, beli makanan napah jangan
minta mulu" dan masing banyak lagi cemoohan yang aku juga sebenernya
maels buat ingat-ingat lagi hahaha. Kesal, benci dan sumpah serapah
meluap pada benak yang tak bisa berbuat. Aku yang memang sebagai anak
yang aktif, dominan dan memiliki pemikiran yang bertolak belakang di
kelas menjadi hal wajar bila mereka mengejek seperti itu. Mulai masa itu
juga aku mulai mengenal kata
"Terus Bermimpi Atau Dapat Membuat Mimpi itu Menjadi Nyata?!" Baik,
kurasa drama kehidupan yang aku pelajari di masa itu sudah cukup dan
aku harus bangun, bangkit dan lupakan keburukan yang ada di hidupku. AKU
HARUS PERCAYA DIRI !
Aku yang memang sudah mencintai
pendidikan, sangat aktif di berbagai kegiatan organisasi didalam atau
diluar sekolah. Pribadi yang sangat tidak pernah menunjukan betapa aku
sedang menjalani banyak misi kehidupan. Bagiku, berorganisasi ialah
satu-satunya hiburan yang baik dan terjangkau. MMC Production atau
Multimedia Club adalah salah satu organisasi yang aku ikuti. Disitu aku
tidak mendapatkan banyak ilmu. Tapi disitu aku mendapatkan banyak
peluang dan kesempatan. Mengapa begitu? Karena dari ruang MMC itu aku
bisa memanfaatkan fasilitas komputer yang tersedia di ruangannya. Karena
jangankan untuk membeli laptop, bayaran sekolah aja nunggak haha.
Aku
masuk sekolah di jam 12.30 sedangkan aku datang ke sekolah di jam
08.00, sambil menunggu jam masuk sekolah aku memanfaatkan fasilitas
sekolah dengan mengaplikasikan materi buku Pengloah Gambar Digital yang
aku temui di salah satu perpus sekolahku, disitu berisi materi-materi
mengoperasikan Adobe Software, Corel Draw dan teknik dasar Fotografi.
Materinya sangat ringan dan mendasar. Tujuankupun simple, hanya ingin
selangkah lebih maju dan gak mau kalah dari teman-temanku di kelas yang
terlihat berkecukupan. Karena aku muak menjadi anak yang terasingkan di
dalam kelas. Dan tadaaa.. Cara itupun berhasil, singkat cerita bahwa aku
mampu mendapatkan nilai produktif/jurusan lebih unggul ketimbang
teman-temanku lainnya di kelas, dan hal itu menjadi kepercayaan pada
diri sendiri bahwa aku mampu! Mulai saat itu aku mulai mempateni bidang
Multimedia khususnya Desain Grafis & Fotografi melalui proses
yang begitu rumit. Sampai dimana aku mampu menembus nilai produktif
tertinggi satu jurusan dan mewakili sekolah untuk beberapa ajang
perlombaan di bidang Desain Grafis dan Fotografi, dari yang tingkat
sekolah se-JABODETABEK, tingkat Dinas Pendidikan Kota Bogor seperti LKS
bidang Desain Grafis (LKS ialah semacam olimpiade), menampilkan karya di
ajang Pameran Kreativitas Epitech Jawa Barat dans sebagainya.
Tentu
hal itu bukan menjadi puncak kebahagiaan bagiku. Nyatanya ekonomiku
belum tertolongkan, tunggakan masih banyak dan fikiranku masih terfokus
akan hal itu. Sampai aku menginjak semester 2 di kelas 2 SMK mendekati
kenaikan kelas aku di nantikan oleh persiapan kenaikan kelas dan
ujian-ujiannya. Dari yang harus membeli buku LKS, fotokopi modul
inilah-itulah dan tentu bisa aku dapatkan dengan aku membelinya, artinya
aku butuh uang. Janganan untuk bayar-bayar begituan, buat jajan sekolah
aja kadang megang 2000 rupiah. Cukup apa? Mulai saat itu aku membanting
fikiran, bahwa aku harus mencari uang sendiri. Karena sepertinya aku
sudah memiliki kemampuan dan fasilitas sekolah seperti komputer dan
kamera SLR masih bersahabat denganku, maka aku putuskan memulai
memasarkan jasa kemampuanku dari yang minjem BBM temen *walau sedikit
maksa* buat sekedar broadcast
"Menerima jasa Fotografi untuk hunting
dengan pacar dan gebetan. Desain Poster untuk Anniversary, Ultah,
Wedding, dsb. Bisa juga cetak Garskin HP dengan desain yang unik.
Dijamin murmer" pada masa itu handphone Blackberry Gemini sangat
happening dan untungnya salah satu temanku yang masih berbaik hati mau
membantuku untuk sekedar menyebarkan pesan singkat itu. Maraknya jaman
Alay *sebut aja gitu* malah membuka peluang bagi aku. Hal itupun
langsung mendapatkan respon yang baik bagi yang menerimanya. Tentu aku
mendapati beberapa client yang kurasa mencukupi uang jajanku di sekolah
untuk tidak memalukan diriku sendiri yang di cap tukang minta-minta,
padahal aku gak pernah meminta tapi memang temen-temenku yang masih
kesisa baik hatinya suka menawarkan makanan, aku yang memang selalu
kelaperan apapun di makan kecuali kotoran.
Menginap
di rumah teman yang berbeda-beda setiap harinya dan tidur di gudang
milik saudaraku ialah pilihanku untuk tetap berpendidikan. Karena jarak
tempuh dari Ciseeng rumahku ke sekolah sangatlah jauh. Bagai dari ujung
ke ujung. Perlu di tembuh dengan 3 kali naik angkot dan 1 kali naik
pusaka Parung-Bogor dengan rentan waktu 1,5 sampai 2 jam. Ongkosnyapun
tak sebanding dengan uang saku yang aku pegang. Akupun kadang merasa
sadar memang aku ialah anak yang nekat dan tak tahu diri. Mengapa juga
harus sekolah jauh-jauh ke kota sedangkan kondisi ekonomi dan rumah
sangat mempihatinkan. Nyaris, putus asa dan mengikuti pembicaraan orang
tuaku untuk berhenti sekolah menjadi keputusanku juga. Namun, mengingat
aku yang sudah banyak terlibat dalam prestasi sekolah sangat malu bila
mengundurkan diri dengan alasan seperti itu. Walau sampai diamana pihak
kepala sekolah mengetahui ekonomi aku, di bawalah aku kedalam ruangannya
dan di ajak berbicara empat mata, lalu aku diberikan keringananlah
dengan diberikan kupon prestasi yang dapat meringankan bayaranku selama 3
bulan dan diberi kesempatan untuk tidak perlu berlarut memikirkannya
dan dapat melunasinya sampai menginjak kelulusan sekolah. Baik, kurasa
akan lebih tenang.
Bertahan sekolah dan menjaga gengsi
menjadi satu kesatuan pada pelajar masa kini. Sedangkan aku, menjual
gengsi untuk bertahan sekolah. Dari kelas ke kelas lain memberikan
contoh karya yang dapat aku jual, seperti garskin handphone dengan
desain yang unik & poster. Tentu aku meraup keuntungan yang
lebih, dan sampai dimana aku bisa mencapai penghasilan kurang lebih 500
ribu dalam satu minggu, bagi pelajar masa itu sudah sungguh besar. Aku
tidak pernah melupakan cemo'ohan teman-teman kelasanku. Keuntungan itu
aku sisihkan untuk mengembangkan usahaku menjadi modal, bayaran sekolah,
uang saku untuk pulang ke rumah dan nraktir-nraktir teman kelasanku.
Terus terang, Melihat gigitan demi gigitan makanan yang aku belikan
untuk teman-temanku sekelas tanpa terkecuali temanku yang sering
mengejeku itu, adalah hal yang sangat membahagiakan dan hal itu ialah
moment pertama kali untuk aku dapat berbagi. Sungguh itu menjadi
motivasi aku juga untuk terus giat mencari uang agar terus bisa
mencukupi finansialku dan membahagiakan orang lain yang lebih
membutuhkan dariku.
Dalam usaha mungkin mengalami
kembang-kempis, namun tak menyurutkan semangatku untuk terus
mengembangkan diri. Menemukan kemampuan baru, mimpi baru, harapan baru
untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau terus
bekerja yang mana hal itu adalah tuntutan hidupku untuk mencapai mimpi
awalku. Baik, kuputuskan untuk bekerja. Untuk bekerjapun tak mudah, aku
harus berkeliling kota bogor hingga kabupaten untuk menanyakan lowongan
pekerjaan dari pabrik ke pabrik dan melewati beberapa kali tahap
penolakan. Sampai aku sempat menjadi Sales door to door selama satu
bulan Ramadhan, dimana aku kerja rodi di salah satu perusahaan penipu
itu. Sakit bila di ingat namun doaku yang baik menyertainya. Sampai
dimana aku mendapatkan tawaran pekerjaan menjadi admin di daerah Jakarta
Barat, bertemu dengan atasan yang baik hati dan bangga memiliki
karyawan seperti aku *katanya sih gitu*. Seling satu bulan aku
mendapatkan pekerjaan akupun langsun memaksakan diri untuk melanjutkan
kuliah dengan jurusan yang sangat aku idamkan "Desain Komunikasi
Visual". Kuliah sambil Bekerja. Hal ini sama persis dengan masa dimana
aku memulai sekolah SMK dulu namun kejadian akhirnya berbeda. Dimana
kondisinya sangat menekankan bahwa aku harus cuti sampai saat ini.
Akupun sempat fokus belajar beberapa bulan untuk menyiapkan diri
mengikuti SBMPTN dan beberapa UMPTN dimana aku berusaha mendaftarkan
diri sebagai peserta Beasiswa Bidiki Misi dan berharap besar jika aku
dapat masuk PTN disana terbuka besar peluang untuk beasiswa. Aku mampu
memang memasuki salah satu PTN yang sudah aku coba keras, namun nyatanya
untuk harapan mendapat jurusan yang sesuai, beasiswa dan UKT (Uang
Kuliah Tunggal) tidak aku dapatkan sebanding dengan harapan dan
kemampuanku. Akhirnya aku putuskan meninggalkan hal itu. "Aku terlalu
meramba masa depan hingga aku lupa caranya bersyukur dengan yang ada.
Harusnya aku tetap fokus bekerja, bekerja dan bekerja."Itulah
pemikiranku saat itu.
Sampai aku berusaha untuk
berlapang dada, melepas satu persatu mimpi-mimpi itu dan menyerahkan
segalanya ke yang maha kuasa, berusaha menyerahkan segala jalannya
dengannya, fokus dan mensyukuri dengan apa yang sedang di jalani yaitu
pekerjaanku dan lambat laun melupakan pengalaman yang baik itu.
Datanglah sebuah kabar baik dari salah satu seniorku di MMC, dia yang
memang melihat kemampuanku sedari masih sekolah sudah merasa yakin bahwa
aku mampu berkembang bersama. Dimana aku diminta untuk bergabung di
sebuah perusahaan untuk menjadi seorang Desain Grafis dan Media Tim.
Sungguh hal itu yang menjadi cita-citaku. Perusahaan kecil di bidang
MICE dan Event Organizer adalah menjadi bonus untuku, mengingat aku yang
tak pernah jalan-jalan jauh selain ke Puncak Bogor dan lokasi kantornya
yang tidak jauh dari rumah baruku maka langsung aku iyakan tawaran itu.
Sunguh jalan Allah memang baik, ia akan memberikan jalan bagi hambanya
yang berserah diri dan berusaha.
Keluar dari daerah
tempat tinggku sebelumnya bukan karena cemo'ohan dari teman-temanku
dulu. Tapi itu adalah keputusanku yang memang mengarahkan keluargaku
untuk keluar dari daerah itu. Yang aku rasa bila keluargaku tetap
menetap disana, maka akan tidak dapat berkembang, akan begitu-begitu
saja. Melihat peluang perkembangan ekonomi yang sempit, kenyataan
teman-teman dekatku banyak yang menikah di usia dini dan bahkan tidak
sedikit menikah dengan alasan yang tidak wajar, dan lain-lain sebagainya
yang mungkin aku desktipsikan lebih panjabg lagi. Keganjalan tersebut
tentu menjadi alasan dan tamparan bagiku, juga menjadi alasanku untuk
berontak dari kenyataan dan tak ingin lingkungan keluargaku berada di
lingkaran kusam itu. Akhirnya keluargaku memutuskan untuk menjual tanah
dan rumah yang di tempati dan membeli rumah kecil di daerah pusat kota
bogor yang aku dan ayahku cari sendiri. Hal itupun aku dapatkan seperti
ajaib. Namun, aku percaya itu rencanaNya. Akhirnya kami dapat melunasi
semua hutang-hutang yang selama ini menjadi beban dan mendapatkan rumah
dengan harga yang pas dengan uang hasil jual tanah dan rumah yang sangat
strategis. Walau dana sedikit kurang, untungnya aku mempunyai tabungan
dari hasil penghasilanku selepas cuti kuliah. Walau kondisi rumah yang
sangat sederhana namun disitu kami mendapatkan ketenangan hidup dan
membahagiakan di setiap harinya.
Alhamdulillahirabbil'alamin..
Ada pengumuman bahwa adiku lolos di salah satu sekolah negri di Kota
Bogor dengan jalur prestasi. Puji syukur.. Semuanya berkat tekat,
motivasi hidup dan do'a. Aku memang sudah percaya dengan adiku bahwa dia
memiliki potensi yang lebih dominan ketimbang aku. Ayahkupun sudah
mulai bekerja kembali di perusahaan yang keluarga ibuku kelola tidak
jauh dari rumah baruku. Maha besar Allah. Lagi-lagi aku seperti
mendapatkan rizki yang bertubi-tubi. Hal ini menjadikan keluargaku
seperti baru kembali, memulai dari nol kembali. Adiku yang menganggap
aku sebagai pusat motivasi dirinya harus mengarahkan ke arah yang lebih
baik dariku. Penghasilanku bekerja saat ini terbilang cukup. Cukup untuk
keseharianku dan yang aku butuhkan, cukup untuk membiayai pendidikan
adiku--agar tidak seperti aku dan dapat aku sisihkan di setiap bulannya
untuk memperlayak kehidupan kedepan. Sampai sejauh ini kami pindah,
alhamdulillah selalu berkecukupan. Tidak ada kelaparan, tidak ada makan
nasi dengan garam atau kecap. Tak ada lagi kegaduhan di dalam rumah.
Yang ada isi rumah kami penuh dengan rasa kesyukuran, bahkan sampai saat
ini, disetiap aku sujud dalam ibadah atau merebahkan badanku di kasur
kamar aku selalu merasa tenang dan penuh dengan pujian kepadaNya yang
maha kuasa.
Sebagai manusia aku
tidak pernah merasa puas. Aku mulai merambah usaha kecil-kecilan
pribadiku berkat pengalaman dan juga (tekat) yang di kuat-kuatkan. Aku
tidak berhenti berpendidikan seusai melepas kuliahku di kedua kampus
yang aku rasa tak mampu aku jalanin itu. Aku langsung bergegas mencari
pendidikan yang pantas dan sesuai dengaku. Akhirnya aku mendapati kampus
PTN yang di kelola oleh Kemendikbud, dimana sistem kuliahnya sangat
mengagetkan aku pribadi. Bagaimana mungkin aku bisa kuliah dengan tidak
menemui dosennya alias online. Sistem belajar seperti ini sungguh sangat
sesuai dengan kebutuhanku yang sangat sibuk bekerja. Hal inipun aku
anggap adalah rizki yang baik dari yang maha baik. Sampai sejauh ini
pendidikan dan pekerjaankupun alhamdulillah lancar dan selalu penuh
dengan rasa kesyukuran.
Mungkin
cerita ini tak seberapa dibandingkan kisah-kisah diluaran yang sangat
lebih memprihatinkan. Namun, tulisan ini kurasa mampu menjadi salinan
rekaman dari sebuah ingatan. Semoga berguna dan bermanfaat. Aamiin
Tulisan ini di undang oleh
#VoluntripChallange #day2 #sepekanbercerita
Yang bertujuan agar menjadi solusi bagi teman-teman lainnya, yang pernah terjebak pada dilema yang sama, agar terus semangat.